Senin, 08 Februari 2016

RHENITIS ALERGI



RHENITIS ALERGI

A.      Definisi
Rinitis alergi (RA) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang diperantarai oleh adanya lg E (Gell & Comb tipe I) ditandai dengan trias gejala yaitu bersin-bersin, rinore encer, obstruksi nasi dan disertai juga oleh gejala lain seperti gatal pada hidung, mata, tenggorok, dan telinga.(Bousquet, 2001).
Defenisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its impact onAsthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yangdiperantarai oleh IgE.

B.       Klasifikasi
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
1. Intermitten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

C.      Farmakoterapi
Dalam pemilihan penatalaksanaan farmakologis untuk rinitis alergi, perlu dipertimbangkan kondisi yang medasari pasien seperti patofisiologi, gejala yang dominan, usia dan kondisi pasien, gangguan jalan nafas lainnya, pilihan pasien dan riwayat penyakit pasien.
Farmakoterapi yang dapat diberikan adalah antihistamin, dekongestan, intranasal dan oral kortikosteroid, mast cell stabilizer, antikolinergik, dan antileukotrien. Kerja dari golongan-golongan obat tersebut secara singkat ditampilkan pada tabel di bawah ini.

Golongan
Mekanisme Kerja
Antihistamin
Antagonis efek histamin yang dimediasi reseptor H1
Dekongestan
Bekerja lebih dominan pada reseptor adrenergik mukosa jalan napas
Kortikosteroid intranasal dan oral
Menghambat efek dari beberapa jenis sel dan mediator
Penstabil sel mast
Menghambat pelepasan mediator dari sel mast
Antikolinergik
Antagonis aksi asetilkolin pada reseptor muskarinik
Anti leukotrien
Antigonis aksi reseptor leukotrien atau menghambat 5-
lipoksigenase dan pembentukan leukotrien

PENGGUNAAN NASAL STEROID DALAM PENATALAKSANAAN RINTIS ALERGI

1.        Mekanisme Kerja Nasal Steroid
Kortikosteroid bekerja mengendalikan laju sintesis protein. Saat diberikan baik secara sistemik maupun topikal, molekul steroid bebas akan berdifusi secara pasif ke membran sel target dan memasuki sitoplasma dan kemudian berikatan dengan reseptor glukokortikoid. Kemudian reseptor glukokortikoid teraktivasi dan memasuki inti sel, dan kemudian melekat sebagai dimer pada lokasi ikatan spesifik (elemen respon glukokortikoid) pada DNA di gen 5’-upstream promotor region of steroid-response. Efek interaksi ini menginduksi dan mensupresi transkripsi gen. Transkripsi RNA messenger terinduksi selama proses ini kemudian diikuti proses post-transkripsional dan ditransportasikan ke sitoplasma untuk translasi ribosom, dengan produk sampingan protein baru. Setelah proses post-transkripsional terjadi, protein baru dilepaskan untuk aktivitas ekstraselular atau ditahan oleh sel untuk aktivitas intraselular. Waktu yang dibutuhkan untuk transalasi RNA messenger dan transkripsi protein dapat terjadi pada lag phase antara pemberian dan menghasilkan aktivitas klinis kortikosteroid.

Penelitian terkini, terlihat bahwa aktivasi reseptor glukokortikoid dapat berinteraksi langsung dengan faktor transkripsi lain di sitoplasma, yang mana dapat sangat mempengaruhi respon steroid pada sel target.

Efektivitas kortikosteroid dalam penatalaksanaan rinitis alergi berkaitan dengan beberapa aksi farmakologis. Kortikosteroid telah menunjukkan efek spesifik dalam sel inflamasi dan mediator kimia yang terlibat dalam proses alergi. Mediator kimia yang dipengaruhi secara langsung oleh kortikosteroid adalah leukotrien dan prostaglandin, yang disintesa dari asam arakidonat melalui jalur enzimatik lipoksigenase dan siklooksigenase. Kortikosteroid meningkatkan sintesis suatu protein (lipocortin-1) yang memiliki efek fosfolipase A2 dan dapat menghambat produksi mediator lipid. Mediator lainnya seperti histamin, platelet activating factor, kinin dan substansi P dipengaruhi secara tidak langsung pada sel-sel inflamasi.

Durasi penggunan kortikosteroid pretreatment merupakan faktor yang mempengaruhi RAFC. Pada penelitian ditemukan inhibisi signifikan dari peningkatan resistensi jalur napas nasal pada penggunaan beclometasone. Penggunaan steroid juga mengurangi produksi sekret nasal dan hidung tersumbat yang diukur menggunakan rhinomanometri. Pemberian steroid pretreatment sangat efektif dalam menurunkan symptom scores. Steroid juga mempengaruhi RAFL dengan menurunkan gejala bersin, kadar histamin dan aktivitas TAME-esterase.

Penelitian lain menunjukkan steroid secara signifikan menurunkan kadar protein kationik eosinofil pada sekret nasal. Kortikosteroid juga secara signifikan menghambat influksbasofil, eosinofil, netrofil, dan sel mononukleat pada RAFL penderita yang terpapar alergen musiman. Pada biopsi nasal penderita rinitis alergi yang diberikan steroid intranasal juga tidak ditemukan peningkatan eosinofil epitelial, submukosal dan sel mast epitelial. Penggunaannya juga mengurangi jumlah antigen-presenting cell dan sel T di mukosa nasal pasien rinitis alergi. Penggunaan steroid juga menurunkan kadar chemokins (IL-8, macrophage inflammatory protein-1a, dan RANTES) dan sitokin (IL-1b dan GM-CSF) pada sekret nasal pasien alergi setelah paparanalergen.

2.        Keuntungan
Penelitian efek humoral steroid intranasal menunjukkan pengaruh langsung respon imun pada alergen musiman oleh regulasi produksi antibody alergen spesifik. Penggunaan steroid mengurangi gejala rinitis dan mengantisipasi peningkatan IgE spesifik selama paparan alergen. Penggunaan kortikosteroid intranasal juga terlihat lebih efektif dalam mengatasi rhinitis alergika perenial dibandingkan antihistamin generasi kedua. Kortikosteroid intranasal juga sering dikominasikan dengan antihistamin untuk mengurangi gejala pada mata dengan lebih cepat. Pada suatu penelitian juga terlihat bahwa kortikosteroid intranasal juga lebih baik dibandingkan dengan Pollinex-R, suatu bentuk imunoterapi.

3.        Efek Samping
Efek samping penggunaan kortikosteroid juga jarang dilaporkan. Efek samping yang paling sering adalah iritasi nasal, yang terjadi pada 10% pasien. Hal ini memberikan gejala berupa sensasi terbakar atau bersin-bersin. Dua persen pasien melaporkan mengeluarkan sekret hidung bercorak darah akibat obat maupun gejala. Perforasi septum juga pernah dilaporkan meskipun sangat jarang. Biopsi nasal setelah penggunaan obat dalam jangka waktu lama juga tidak memperlihatkan penipisan epitel nasal atau abnormalitas mukosa nasal. Superinfeksi mukosa oleh Candida albicans, yang biasanya ditemukan pada penggunaan kortikosteroid topikal, inhalasi oral pada penatalaksanaan asma, bukanlah hal yang sigifikan di hidung.

Gangguan pertumbuhan tulang pada anak juga telah diperhatikan, sebagaimana yang diamati pada penggunaan steroid jangka panjang pada asma. Hal ini diamati pada penggunaan beclometason. Namun penggunaan steroid dosis rendah namun dapat mengurangi gejala rinitis pada jangka panjang masih disarankan dan aman. Penelitian penggunaan mometason furoat pada anak - anak dengan rinitis alergi parenial tidak menyebabkan retardasi pertumbuhan atau supresi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal. Efek jangka panjang penurunan kecepatan pertumbuhan yang berpengaruh pada tinggi saat dewasa dan kemampuan mengejar pertumbuhan setelah penghentian terapi steroid belum diteliti secara adekuat. Namun disarankan pengamatan reguler setiap 3 hingga 6 bulan dengan instrumen adekuat (statiometer) oleh staf terlatih. Lebih lanjut, perlu dipertimbangkan penggunaan sediaan baru dengan bioavailabilitas sistemik rendah seperti mometason dan fluticason pada penatalaksanaan rhinitis alergi pada anak. Sediaan ini telah disetujui oleh FDA dimulai pada usia 3 tahun (mometason) dan 4 tahun (fluticason), dengan dosis yang direkomendasikan setengah dari dosis dewasa. Mometason dan fluticason hampir tidak diabsorbsi di traktus gastrointestinal, dengan fraksi yang diabsorbsi dimetabolisme dengan cepat di hepar.


KESIMPULAN

Steroid intranasal merupakan obat yang sangat efektif dalam penatalaksanaan pasien dengan rinitis alergi dibandingkan dengan antihistamin, dekongestan dan kromolin. Saat ini telah tersedia beberapa sediaan steroid intranasal yang memiliki efektivitas dan karakteristik keamanan relatif sama. Meskipun steroid intranasal masih kurang efektif dalam mengurangi
gejala akut seperti gejala okular dibandingkan antihistamin dalam penatalaksanaan rinitis alergi perenial, steroid intranasal dapat digunakan sebagai kombinasi dengan terapi lainnya untuk mencapai perbaikan optimal dari gejala keseluruhan. Sediaan kortikosteroid memiliki onset aksi terlambat dan dibutuhkan pemberian harian untuk mencapai hasil yang optimal. Efek samping utama dari steroid intranasal adalah iritasi lokal dan meskipun telah diteliti bioavailabilitas istemik dari beberapa sediaan steroid intranasal, laporan mengenai efek
samping sistemik masih sangat jarang.


Al-Khalid, Abi. 2015. Penggunaan Nasal Steroid Dalam Penatalaksanaan Rinitis Alergi. DocSlide : http://dokumen.tips/documents/penggunaan-nasal-steroid-dalam-penatalaksanaan-rinitis-alergi.html di akses pada 21 Oktober 2015 pukul 18.30 WIB

Pemeriksaan Fisik Sistem Syaraf Kranial


Saraf Kranial
Nama
Tipe
Fungsi
Metode Pengkajian
I
Olfaktorius
Sensorik
Penciuman
Minta klien untuk menutup mata dan mengidentifikasi aroma ringan yang berbeda, seperti kopi, vanila, selai kacang, jeruk, limun, cokelat, lemon
II
Optikus
Sensorik
Penglihatan dan lapang pandang
Minta klien untuk membaca bagan snellen; periksa lapang pandang dengan konfrontasi; dan lakukan pemeriksaan oftalmoskopik
III
Okulomotorius
Motorik
Gerakan mata ekstraokular (EOM); gerakan sfingter pupil; gerakan otot siliaris lensa
Kaji enam gerakan okular dan reaksi pupil



IV
Troklearis
Motorik
EOM, khususnya menggerakkan bola mata ke bawah dan lateral
Kaji enam gerakan okular
V
Trigeminus
Cabang oftalmik










Cabang maksilari


Cabang mandibula
Sensorik












Sensorik



Motorik dan Sensorik
Sensasi kornea, kulit wajah dan mukosa nasal










Sensasi kulit wajah dan rongga oral anterior (lidah dan gigi)
Otot mengunyah; sensasi kulit wajah
Saat klien melihat ke atas, sentuh bagian samping sklera mata untuk menimbulkan refleks kedip. Untuk menguji sensasi ringan, minta klien menutup mata, sapukan kapas yang digulung kecil pada dahi klien dan sinus paranasal. Untuk menguji sensasi dalam, gunakan sisi tumpul dan tajam peniti pada area yang sama.
Kaji sensasi kulit seperti mengkaji cabang oftalmik di atas.

Minta klien untuk mengatupkan gigi dengan kencang

VI
Abdusens
Motorik
EOM; menggerakkan bola mata ke samping
Kaji arah pandangan
VII
Fasialis
Motorik dan sensorik
Ekspresi wajah; indra perasa (dua pertiga lidah anterior)
Minta klien untuk tersenyum, mengangkat alis mata, mengerutkan dahi, menggembungkan pipi, menutup mata dengan kuat. Minta klien untuk mengidentifikasi berbagai contoh makanan yang ditempatkan pada ujung dan sisi lidah: gula (manis), garam (asin), jus lemon (asam), dan kina (pahit); identifikasi area rasa
VIII
Auditorius
Cabang vestibular

Cabang koklear
Sensorik



Sensorik
Keseimbangan



Pendengaran
Metode pengkajian dibahas dengan fungsi serebelum (pada bagian selanjutnya)
Kaji kemampuan klien untuk mendengar kata yang diucapkan dan vibrasi garpu tala
IX
Glosofaringeus
Motorik dan sensorik
Kemampuan menelan, gerakan lidah, indra perasa (lidah posterior)
Letakkan contoh makanan pada lidah posterior untuk diidentifikasi. Minta klien untuk menggerakkan lidah dari sisi ke sisi dan dari atas ke bawah
X
Vagus
Motorik dan sensorik
Sensasi pada faring dan laring; menelan, gerakan pita suara
Terkaji dengan saraf kranial IX; kaji adanya serak saat klien bicara
XI
Aksesoris
Motorik
Gerakan kepala; mengangkat bahu
Minta klien mengangkat bahu melawan tahanan tangan Anda dan putar kepala ke samping melawan tahanan tangan anda (ulangi pada sisi lainnya)
XII
Hipoglosalum
Motorik
Penjuluran lidah; menggerakkan lidah ke atas dan ke bawah lalu dari sisi ke sisi
Minta klien untuk menjulurkan lidah pada garis tengah, kemudian menggerakkannya dari sisi ke sisi