KEMATIAN
“End Of Life”
Oleh :
Msy Hartina Ulfa
04021181419010
Program
Studi Keperawatan
Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
Karya Ilmiah dalam bentuk Makalah yang berjudul “Kematian (End Of Life)” ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Keperawatan Dasar II
(IKD II) semester 2 tahun 2015.
Makalah ini kami susun berdasarkan data-data yang telah kami
ambil dari Buku maupun internet. Hambatan yang kami temui pada
penyusunan Makalah ini adalah kurangnya waktu penyusunan karena banyaknya tugas
kami pada mata kuliah lain.
Selesainya makalah ini tentunya tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak. Dalam penyusunan Makalah ini penulis juga memberi kesempatan
kepada pembaca, kiranya berkenan memberi kritikan dan saran yang bersifat
membangun dengan maksud meningkatkan pengetahuan penulis agar lebih baik dalam
karya selanjutnya.
Palembang, Mei 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………………... i
Daftar Isi ……………………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………...
I.
1 Latar Belakang
I.
2 Rumusan Masalah
I.
3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
……………………………………………………
BAB III PENUTUP
…………………………………………………………
Daftar Pustaka ………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
I.
1. Latar Belakang Masalah
Perawat
adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan
masyarakat sehingga mereka dapat mencapai, mempertahankan, atau memulihkan
kesehatan yang optimal dan kualitas hidup dari lahir sampai mati. Bagaimana
peran perawat dalam menangani pasien yang sedang menghadapi proses sakaratul
maut?
Peran
perawat sangat konprehensif dalam menangani pasien karena peran perawat adalah
membimbing rohani pasien yang merupakan bagian integral dari bentuk pelayanan
kesehatan dalam upaya memenuhi kebutuhan
biologis-psikologis-sosiologis-spritual (APA, 1992 ), karena pada dasarnya
setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual ( Basic spiritual needs,
Dadang Hawari, 1999 ).
Pentingnya
bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO yang menyatakan
bahwa aspek agama (spiritual) merupakan salah satu unsur dari pengertian
kesehataan seutuhnya (WHO, 1984). Oleh karena itu dibutuhkan dokter dan
terutama perawat untuk memenuhi kebutuhan spritual pasien. Karena peran perawat
yang konfrehensif tersebut pasien senantiasa mendudukan perawat dalam tugas
mulia mengantarkan pasien diakhir hayatnya dan perawat juga dapat bertindak
sebagai fasilisator (memfasilitasi) agar pasien tetap melakukan yang terbaik
seoptimal mungkin sesuai dengan kondisinya. Namun peran spiritual ini sering
kali diabaikan oleh perawat. Padahal aspek spiritual ini sangat penting
terutama untuk pasien terminal yang didiagnose harapan sembuhnya sangat tipis
dan mendekati sakaratul maut.
Menurut
Dadang Hawari (1977,53) “orang yang mengalami penyakit terminal dan menjelang
sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual, dan
krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu
mendapatkan perhatian khusus”.
Pasien
terminal biasanya mengalami rasa depresi yang berat, perasaan marah akibat
ketidakberdayaan dan keputusasaan. Dalam fase akhir kehidupannya ini, pasien
tersebut selalu berada di samping perawat.
Pasien dengan fase kritis merupakan pasien dengan
satu atau lebih gangguan fungsi sistem organ vital manusia yang dapat mengancam
kehidupan serta memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi, sehingga membutuhkan
suatu penanganan khusus dan pemantauan secara intensif. Pasien kritis memiliki
kerentanan yang berbeda. Kerentanan itu meliputi ketidakberdayaan, kelemahan
dan ketergantungan terhadap alat bantu sehingga menyebabkan kerentanan itu
semakin meningkat.
Empati
merupakan suatu sikap yang harus dimiliki oleh setiap perawat dalam membina
hubungan terapeutik dengan klien, khususnya pasien dengan fase terminasi
kehidupan. Empati merupakan komponen penting dalam asuhan keperawatan dimana
untuk meningkatkan kemampuan perawat dalam mengerti akan emosional pasien serta
memberikan respon terhadap emosional tersebut sehingga sikap empati perawat
merupakan unsur yang sangat penting dalam proses yang berlangsung secara
interpersonal. Namun faktanya kebanyakan perawat hanya berfokus untuk memenuhi
kebutuhan pasien secara fisiologis namun mengesampingkan pemberian asuhan
keperawatan dari aspek lain, yaitu pemenuhan kebutuhan pasien secara
bio-psiko-sosial-spiritual khususnya empati pada pasien.
I.
2. Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana mendefinisikan kondisi seseorang yang mendekati kematian?
1.2.2
Bagaimana konsep
teori dari kebutuhan terminal atau menjelang ajal?
1.2.3 Bagaimana peran keluarga terhadap
pasien yang mendekati kematian?
1.2.4. Aspek Empati apa saja yang
dimiliki perawat pada pasien terminal?
I.
3. Tujuan
1.3.1 Mendefinisikan bagaimana kondisi
seseorang yang mendekati kematian.
1.3.2 Mengetahui konsep teori dari
kebutuhan terminal atau menjelang ajal.
1.3.3 Mengetahui peran keluarga terhadap
pasien yang mendekati kematian.
1.3.4 Mengetahui aspek – aspek empati yang
dimiliki perawat pada pasien terminal.
BAB II
PEMBAHASAN
II. 1.
Pengertian
Secara
etimologi death berasal dari kata deeth atau deth yang berarti keadaan mati
atau kematian. Sedangkan secara defenitif, kematian adalah terhentinya fungsi
jantung dan paru-paru secara menetap, atau terhentinya kerja otak secara
permanen. Ini dapat dilihat dari tiga sudut pandang tentang defenisi
kematian,yakni, kematian jaringan;kematian otak,yakni kerusakan otak yang tidak
dapat pulih; dan kematian klinik, yakni kematian orang tersebut.
Keadaan Termal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak
tidak ada harapan lagi bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat
disebabkan oleh suatu penyakit atau suatu kecelakaan.
Kematian adalah
suatu pengalaman tersendiri, dimana setiap individu akan mengalami atau
menghadapinya seorang diri, sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan merupakan
suatu kehilangan.
Menjadi
tua adalah proses alamiah yang akan dihadapi oleh setiap mahluk hidup dan
meninggal dengan tenang adalah dambaan setiap insan. Namun sering kali harapan
dan dambaan tersebut tidak tercapai. Dalam masyarakat kita, umur harapan hidup
semakin bertambah dan kematian semakin banyak disebabkan oleh penyakit-penyakit
degeneratif seperti kanker dan stroke. Pasien dengan penyakit kronis seperti
ini akan melalui suatu proses pengobatan dan perawatan yang panjang.
Jika
penyakitnya berlanjut maka suatu saat akan dicapai stadium terminal yang
ditandai dengan oleh kelemahan umum, penderitaan, ketidakberdayaan, dan
akhirnya kematian. Sebagin besar kematian di rumah sakit adalah kematian
akibat penyakit kronis dan terjadi perlahan-lahan. Pada umumnya, dokter dan
perawat lebih mudah menghadapi kematian yang muncul secara perlahan-lahan.
Mereka tidak dipersiapkan dengan baik untuk berhadapan dengan ancaman kematian.
II. 2. Konsep Teori
Tahap-tahap
Menjelang Ajal
Kubler-Rosa
(1969), telah menggambarkan atau membagi tahap-tahap menjelang ajal (dying)
dalam 5 tahap, yaitu :
a. Menolak (Denial)
Pada tahap ini klien tidak siap
menerima keadaan yang sebenarnya terjadi dan menunjukkan reaksi menolak.
b. Marah (Anger)
Kemarahan terjadi karena kondisi
klien mengancam kehidupannya dengan segala hal yang telah diperbuatnya sehingga
menggagalkan cita-citanya.
c. Menawar (Bargaining)
Pada tahap ini kemarahan baisanya
mereda dan pasien malahan dapat menimbulkan kesan sudah dapat menerima apa yang
terjadi dengan dirinya.
d. Kemurungan (Depresi)
Selama
tahap ini, pasien cen derung untuk tidak banyak bicara dan mungkin banyak
menangis. Ini saatnya bagi perawat untuk duduk dengan tenang disamping pasien
yang sedangan melalui masa sedihnya sebelum meninggal.
e. Menerima atau Pasrah (Acceptance)
Pada fase ini terjadi proses
penerimaan secara sadar oleh klien dan keluarga tentang kondisi yang terjadi
dan hal-hal yang akan terjadi yaitu kematian. Fase ini sangat membantu apabila
kien dapat menyatakan reaksi-reaksinya atau rencana-rencana yang terbaik bagi
dirinya menjelang ajal. Misalnya: ingin bertemu dengan keluarga terdekat,
menulis surat wasiat.
Tipe-tipe Perjalanan Menjelang Kematian
Ada 4 type dari perjalanan proses kematian, yaitu :
a. Kematian yang pasti dengan waktu
yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang cepat dari fase akut ke kronik.
b. Kematian yang pasti dengan waktu
tidak bisa diketahui, baisanya terjadi pada kondisi penyakit yang kronik.
c. Kematian yang belum pasti,
kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi pada pasien dengan operasi
radikal karena adanya kanker.
d. Kemungkinan mati dan sembuh yang
tidak tentu, terjadi pada pasien dengan sakit kronik dan telah berjalan lama.
Tanda-tanda Klinis Menjelang
Kematian
1. Kehilangan Tonus Otot, ditandai :
a. Relaksasi otot muka sehingga dagu
menjadi turun.
b. Kesulitan dalam berbicara, proses
menelan dan hilangnya reflek menelan.
c. Penurunan kegiatan traktus
gastrointestinal, ditandai: nausea, muntah, perut kembung, obstipasi dan
sebagainya.
d. Penurunan control spinkter urinari
dan rectal.
e. Gerakan tubuh yang terbatas.
2. Kelambatan dalam Sirkulasi, ditandai
:
a. Kemunduran dalam sensasi.
b. Cyanosis
pada daerah ekstermitas.
c. Kulit
dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian tangan, telinga dan hidung.
3. Perubahan-perubahan dalam
tanda-tanda vital :
a. Nadi
lambat dan lemah.
b. Tekanan
darah turun.
c. Pernafasan
cepat, cepat dangkal dan tidak teratur.
4. Gangguan Sensoria : Penglihatan
kabur.
5. Gangguan penciuman dan perabaan.
Tanda-tanda Klinis Saat Meninggal
a. Pupil mata melebar.
b. Tidak mampu untuk bergerak.
c. Kehilangan reflek.
d. Nadi cepat dan kecil.
e. Pernafasan chyene-stoke dan ngorok.
f. Tekanan darah sangat rendah.
g. Mata dapat tertutup atau agak
terbuka.
Tanda-tanda Meninggal secara klinis
Secara
tradisional, tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui
perubahan-perubahan nadi, respirasi dan tekanan darah. Pada tahun 1968, World
Medical Assembly, menetapkan beberapa petunjuk tentang indikasi kematian, yaitu
:
a. Tidak
ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
b. Tidak
adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.
c. Tidak
ada reflek.
d. Gambaran
mendatar pada EKG.
Macam
tingkat Kesadaran atau Pengertian dari Pasien dan Keluarganya terhadap Kematian
Strause
et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 type :
a. Closed Awareness atau Tidak
Mengerti.
Pada
situasi seperti ini, dokter biasanya memilih untuk tidak memberitahukan tentang
diagnosa dan prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi perawat hal
ini sangat menyulitkan karena kontak perawat lebih dekat dan sering kepada
pasien dan keluarganya. Perawat sering kal dihadapkan dengan
pertanyaan-pertanyaan langsung, kapan sembuh, kapan pulang dan sebagainya.
b. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian
yang Ditutupi.
Pada fase
ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan segala sesuatu yang
bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang berat baginya.
c. Open Awareness atau Sadar akan
keadaan dan Terbuka.
Pada situasi
ini, klien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal yang
menjelang dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir.
Keadaan ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam
merencanakan saat-saat akhirnya, tetapi tidak semua orang dapat melaksanaan hal
tersebut.
II. 3 Peran Keluarga
Dalam konsisi kritis, kehadiran
keluarga di sisi pasien juga sangat berguna sebagai saksi terhadap semua
tindakan yang telah dilakukan. Dengan demikian saat kondisi pasien dinyatakan
meninggal setelah dilakukan tindakan resusitasi, maka keluarga akan merasa
bahwa usaha sudah benar-benar dilaksanakan secara maksimal sehingga keluarga
akan memberikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada tim kesehatan
dan pasien dianggap meninggal dengan tenang.
Kehadiran keluarga juga akan
memberikan support dan kenyamanan pada pasien, mempercepat proses pengambilan
keputusan, memahami situasi kritis, membantu proses koping dan berduka,
membantu menurunkan kecemasan dan ketakutan anggota keluarga lain (Kosowan and
Jenses, 2010).
Namun, pada beberapa kondisi,
keluarga pasien seharusnya tidak diijinkan berada di samping pasien saat proses
RJP. Contoh kondisi yang tidak memperbolehkan keluarga dihadirkan di samping
pasien adalah kondisi emosi anggota keluarga yang labil, sehingga dikhawatirkan
akan mengganggu proses RJP.
Kehadiran keluarga
pasien saat tindakan resusitasi juga berdampak kepada perawat maupun tim
kesehatan lain, diantaranya berdampak pada tingkat kepercayaan diri dalam melakukan
tindakan. Akan tetapi kepercayaan diri tersebut akan tumbuh selama ada edukasi,
policy serta prosedur yang jelas tentang kehadiran keluarga pasien saat
tindakan resusitasi.
II. 4 Aspek Empati
Empati merupakan sebuah pengalaman untuk melihat tingkat
emosi orang lain dimana lebih lanjutnya empati dapat mendatangkan hasil klinis
yang baik dari komunikasi dan trust yang dibangun antara perawat-klien.
Empati itu sendiri dapat muncul ketika pasien merasakan sakit secara fisik
khususnya pasien dengan terminal kehidupan. Dalam empati bisa mencakup beberapa
aspek yaitu aspek compassionate care, emotional detachment, dan perspective
taking.
Aspek compassionate care merupakan aspek yang berfokus
pada memberikan kasih sayang serta membangun sebuah hubungan saling percaya
antara pasien-keluarga-perawat. Salah satu dari empat komponen penting dalam
aspek compassionate care pada perawat adalah sebuah hubungan yang baik
atas dasar kemampuan perawat untuk memahami apa yang pasien rasakan baik itu
bahasa tubuh ataupun pernyataan verbal dari pasien. Selain itu dalam aspek compassionate
care, terdapat hubungan emosional dalam empati merupakan suatu respon emosi
yang atas apa yang orang lain butuhkan, termasuk didalamnya perasaan sedih,
merasa dalam penderitaan atau merasakan ketidaknyamanan.
Aspek emotional detachment merupakan aspek yang
menerangkan gambaran empati yang dibangun atas dasar kesadaran diri sendiri untuk
memahami apa yang dirasakan merasakan keadaan emosional orang lain (pasien-keluarga).
Aspek memahami perasaan klien mendatangkan dampak kepuasan langsung bagi outcome
pasien. Selain itu memahami serta mengerti apa yang pasien rasakan terbukti
menurunkan tingkat stress pada pasien dengan fase terminal kehidupan. Perawat
dalam bertindak (pemberian asuhan keperawatan) harus mengidentifikasi kemampuan
diri dalam membina hubungan teraputik yang baik dengan pasien. Pasien dengan
keadaan kritis tidak memperoleh hubungan terapeutik dalam pemberian asuhan
keperawatan, tentunya akan tidak memberikan hasil yang maksimal dalam proses
peningkatan kualitas hidup pasien.
Aspek perspective taking merupakan aspek yang
mendalami tentang bagaimana kita melihat dan memandang sudut pandang orang lain
secara alamiah dari diri kita sendiri. Aspek perspective taking merupakan
salah satu kemampuan untuk meningkatkan kefektifitasan pemberian empati pada
pasien, kemampuan itu berupa cara perawat dalam membangun hubungan terapeutik yang
baik pada pasiennya. Selain itu dalam aspek perspective taking dapat
dilakukan dengan banyak cara, salah satunya yaitu kemampuan untuk mendengarkan
serta mengerti atas pengalaman apa yang sudah dilalui oleh pasien serta
berdasarkan sudut pandang dari pasien itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
III.1
Kesimpulan
Kondisi
Terminal adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami penyakit atau sakit
yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh sehingga sangat dekat dengan proses kematian.
Respon klien dalam kondisi terminal sangat individual tergantung kondisi fisik,
psikologis, social yang dialami, sehingga dampak yang ditimbulkan pada tiap
individu juga berbeda. Hal ini mempengaruhi tingkat kebutuhan dasar yang
ditunjukan oleh pasien terminal.
Seseorang yang menghadapi
kematian/kondisi terminal, dia akan menjalani hidup, merespon terhadap berbagai
kejadian dan orang disekitarnya sampai kematian itu terjadi. Perhatian utama
pasien terminal sering bukan pada kematian itu sendiri tetapi lebih pada
kehilangan kontrol terhadap fungsi tubuh, pengalaman nyeri yang menyakitkan
atau tekanan psikologis yang diakibatkan ketakutan akan perpisahan, kehilangan
orang yang dicintai.
Empati
merupakan sebuah pengalaman untuk melihat tingkat emosi orang lain dimana lebih
lanjutnya empati dapat mendatangkan hasil klinis yang baik dari komunikasi dan trust
yang dibangun antara perawat-klien. Empati itu sendiri
dapat muncul ketika pasien merasakan sakit secara fisik khususnya pasien dengan
terminal kehidupan. Dalam empati bisa mencakup beberapa aspek yaitu aspek compassionate
care, emotional detachment, dan perspective taking.
III. 2 Saran
1.
Perawat
harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal, tujuannya untuk
dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat
terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang
dan damai.
2.
Ketika
merawat klien menjelang ajal atau terminal, tanggung jawab perawat harus
mempertimbangkan kebutuhan fisik, psikologis, dan social yang unik.
3.
Perawat
harus lebih toleran dan rela meluangkan waktu lebih banyak dengan klien
menjelang ajal, untuk mendengarkan klien mengekspresikan duka citanya dan untuk
mempertahankan kualitas hidup pasien.
4.
Asuhan
perawatan klien terminal tidaklah mudah. Perawat membantu klien untuk meraih
kembali martabatnya. Perawat dapat berbagi penderitaan klien menjelang ajal dan
melakukan intervensi yang dapat meningkatkan kualitas hidup, klien harus
dirawat dengan respek dan perhatian penuh. Dalam melakukan perawatan keluarga
dan orang terdekat klien harus dilibatkan, bimbingan dan konsultasi tentang
perawatan diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Craven,
Ruth F. Fundamentals of nursing : human healt and function.
Kozier, B.
(1995). Fundamentals of nursing : Concept Procees and Practice, Ethics and
Values. California : Addison Wesley
Muchtar,
Ruslan. Konsep Kematian. Scribc, http://www.scribd.com/doc/15584906/KDM-Konsep-kematian.
Diakses tanggal 01 Mei 2015 pukul 19.00 WIB.
Setyopranoto,
I. 2008. Pendekatan evidence based medicine pada manajemen stroke perdarahan
intraserebral, CDK 165, vol. 35, no. 6, pp. 321-327, http://www.ugm.ac.id, Diakses tanggal 01 Mei 2015 pukul
19.00 WIB.
Smith,
Sandra F, Smith Donna J with Barbara C Martin. Clinical Nursing Skills. Basic
to Advanced Skills, Fourth Ed, 1996. Appleton&Lange, USA.